Aceh Meminta Bantuan Kepada Turki Utsmaniyah

 

Pada tahun 2013 ditemukan koin bertuliskan nama Alauidn Syah Al-Kahar yang merupakan Sultan Aceh yang berdampingan dengan Sulaiman I dari Kesultanan Turki Utsmaniyah. Dua nama yang bersandingan pada koin ini menjadi bukti hubungan diplomatik antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Turki Utsmaniyah.

 

Sultan Alauidn Syah Al-Kahar merupakan Sultan Aceh ketiga yang berkuasa dari tahun 1537 sampai 1571. Pada masa pemerintahan beliau Aceh menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang kuat di daerah Sumatera dan Semenanjung Malaka. Ketika itu Portugis sudah menguasai Malaka sejak kedatangannya pada tahun 1511. Alhasil, Kesultanan Aceh berusaha untuk melawan pengaruh Portugis di Malaka.

 

Untuk menambah kekuatan militernya Kesultanan Aceh mencoba bekerjasama dengan Kesultanan Turki Utsmaniyah. “Setelah tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya, Kesultanan Ottoman (Turki Utsmaniyah) menjelma menjadi tempat bagi kerajaan-kerajaan Islam di Timur (India dan Kepulauan Nusantara) yang baru berkembang menaruh harapan dalam menghadapi Portugis,” tulis Giancarlo Casale dalam The Ottoman: Age of Exploration.

 

Kesultanan Aceh lalu mengutus seseorang untuk berdiplomasi di Istanbul, Turki. Hal ini terjadi pada tahun 1562. Sultan Turki yang berkuasa saat itu yaitu Sultan Sulaiman I merasa terkesan dengan utusan Aceh ini. Ia lalu mengirimkan meriam yang juga dilengkapi dengan teknisinya untuk membantu Kesultanan Aceh. Selain itu, Sultan Sulaiman I juga mengirimkan seorang diplomat bernama Lutfi Bey untuk memberikan laporan mengenai kondisi di Aceh.

 

Penugasan Lutfi Bey ke Aceh memberikan peran penting bagi Kesultanan Turki Utsmaniyah. Karena berkat Lutfi Bey mereka menjadi tahu posisi strategis Kesultanan Aceh di wilayah Nusantara. Lutfi Bey melaporkan bahwa Kesultanan Aceh menjadi garis terdepan umat Islam dalam melawan Portugis di Malaka.

 

“Surat diplomatik yang Lutfi Bey bawa ketika dia kembali ke Istanbul pada 1566, menyatakan bahwa Sultan Al-Kahar tidak lagi ingin sekadar meminta senjata kepada Sultan Sulaiman I. Tidak pula ingin menjalin hubungan politik antar dua kerajaan yang berdiri sama sejajar. Melainkan dia ingin agar dirinya dan negerinya, Aceh, diperintah secara langsung oleh Sultan Sulaiman I sebagai ganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis,” lanjut Casale.

 

Hubungan diplomatik antara Aceh dan Turki berlanjut walau Sultan Sulaiman I meninggal dunia. Sultan Selim II sebagai penerus tahta memerintahkan pengiriman armada sebanyak 15 kapal layar ke Aceh. Dalam armada tersebut di dalamnya terdapat prajurit, penasihat militer, teknisi meriam, juga para ahli tambang, pandai besi, dan pandai emas.

 

Namun, sayang armada berkekuatan besar ini tidak sepenuhnya dapat berlabuh di Aceh. Hal ini karena dalam perjalanan sebagian mereka berlabuh di Yaman untuk memadamkan sebuah pemberontakan.  Hanya tersisa dua kapal yang berlabuh di Aceh yang isinya para pedagang dan teknisi meriam. Hal ini membuat rencana Sultan Aceh terpaksa memutar taktik kembali untuk menyerang Portugis pada tahun 1570.

 

Sumber: historia.id

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Nawawi Al-Bantani yang Berjuluk Sayyidul Ulama Al-Hijaz

Konfrontasi Politik dalam Pembebasan Irian Barat

Datu Abdussamad, Ulama dari Tanah Bakumpai